Kamis, 01 November 2007

Siapa Socrates Sebenarnya?

Banyak juga cara pandang mengulas Socrates. Kutipan dari Watung.org ini menurut saya sangat membantu.

Siapa Socrates Sebenarnya?

Oleh: Warung.org

Ingatan kita dulu adalah tentang seorang tua gempal di Yunani sana yang hidupnya hanya beredar di pasar-pasar bak gelandangan, menggetok pikiran dan mendebat anak-anak muda tentang sesuatu yang… entah soal apa sebenarnya. Yang lalu diadili dan mati diteguk racun oleh penguasa.

Gadfly of Athena, julukannya, Lalat Pengganggu Athena. Dan beliau ini memang bak lalat: hinggap, menggelitik, lalu terbang… hampir tanpa jejak. Maka sampai kini pun, tak pernah orang menemukan bahkan sebaris pun tulisan-tulisan Socrates. Kisahnya yang ajaib, tentu, masih dapat kita simak lewat karya-karya Plato yang banyak merekam gurunya yang aneh ini.

Aneh, karena yah… ngapain ya ngider di jalan-jalan seperti itu? Cuma untuk berdiskusi dan menanyai orang-orang? He is a prominent philosopher, a smart guy! Dan apa yang dituju sebenarnya, diskusi apa, tentang apa — sebegitu hebohnya sampai musti disidang di depan 500 juri di pengadilan Athena?

Nah, kita bisa membaca Apologia (download ebook) karya Plato. Apologia adalah rekaman dari sesi pembelaan Socrates di pengadilan sebelum ia dihukum mati. Agak panjang, tapi saya coba cuplikkan yang menariknya (juga mengejutkan!) So please sit down and relax…

Socrates diadili karena tiga dakwaan: meracuni pikiran kaum muda, tidak mempercayai dewa-dewa, dan membuat agama baru. Kita tahu Yunani, negeri di mana Socrates hidup, adalah negeri para dewa; Zeus, Hera, Apollo, Poseidon… dan sebagainya itu. Memang dalam terjemahan Apologia ini, si penerjemah Benjamin Jowett menggunakan kata “gods” ketika merujuk pada apa yang dipercayai warga Athena. Tapi ketika itu berkaitan dengan ketuhanan pribadi Socrates sendiri, kata “God” (tanpa “s”, dan “G” huruf besar) lah yang dipakai.

Menarik. Socrates kita kenal sebagai filsuf — tapi membaca Apologia ini, kita akan bertemu dengan sosok yang sangat, sangat, sangat relijius! No, I’m serious… Orang ini bukan tipe yang sekedar icip-icip keagamaan bak orang jaman sekarang yang mengutip ayat ini dan itu… No. He has a whole life and conduct that seems to be COMPLETELY driven by what he believes in!

Saya cuplikkan sedikit ucapannya:

Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada siapapun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan aku yakin tak ada kebaikan yang lebih baik pada negeri ini selain pengabdianku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah mengajak kalian semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu! Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta, tapi bahwa dari kebajikan itulah — harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik maupun individu. Inilah yang aku ajarkan.

Perintah Tuhan… hmm… Dan ketika menjelaskan tentang siapa dirinya, alasan tindakannya,

Warga Athena… bila kalian membunuhku, kalian tak kan mudah menemukan pengganggu sepertiku yang Tuhan telah anugerahkan kepada negeri ini. Negeri ini bak kuda ningrat yang besar, yang berjalan demikian lamban lantaran ukuran tubuhnya. Ia mustilah diusik agar hidup kembali. Dan akulah pengganggu itu yang Tuhan telah tempatkan di negeri ini. Dan di sepanjang waktu, di mana-mana, aku akan selalu mendekatimu, membangunkanmu, membujuk dan mengusikmu.

Juga di bawah ini, satu argumentasi yang cerdas:

Ketika kukatakan bahwa aku dianugrahkan Tuhan kepadamu, bukti dari misi dan tugasku adalah sebagai berikut: — jika aku seperti kebanyakan orang, aku pastilah tak akan menolak kepentinganku sendiri… demi kepentinganmu, aku datang kepadamu sebagai bapak atau saudara tua, mengajakmu kepada kebajikan yang mulia. Jika aku memperoleh sesuatu dari situ, atau jika aku dibayar karena ajakanku ini, tentu hal itu akan menjadi alasan yang masuk akal atas tindakanku ini. Namun, seperti yang kalian lihat, tak satu pun penuntutku mampu menunjukkan bahwa aku mengutip bayaran apapun, mereka tak punya bukti. Dan aku memiliki bukti yang cukup atas kebenaran dari apa yang kukatakan — yakni: kemiskinanku.

Do you remember Surah Yasiin:21? “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk…” Ada kesan yang cukup lugas, bahwa Socrates melakukan itu semua bukan atas kemauannya sendiri. Ia seperti… diperintah.

Dan yang berikut ini, barangkali yang paling tidak mudah dijelaskan…

Orang barangkali bertanya-tanya mengapa aku diam-diam sibuk mengurusi orang lain tapi tak pernah maju ke depan publik dan memberi nasihat kepada negara. Akan kuceritakan kenapa. Kalian telah sering mendengar di banyak tempat tentang sosok atau tanda yang senantiasa datang kepadaku, tanda ilahiah yang Melitus (jaksa penuntut — Red) telah mencemoohnya dalam tuduhannya. Tanda ini, yang berwujud seperti suara-suara, pertama kali menghampiriku ketika aku masih kanak-kanak. Suara-suara ini melarangku berbuat sesuatu, namun tak pernah menyuruhku untuk melakukan hal-hal. Inilah yang menahanku dari menjadi seorang politikus.

Socrates memilih mati, walau rekan-rekannya memaksanya untuk menyetujui tawaran keluar dari Athena. Di akhir pembelaannya, dia berucap: “The hour of departure has arrived, and we go our ways — I to die, and you to live. Which is better, only God knows.

Socrates melahirkan murid yang cerdas seperti Plato. Plato melahirkan Aristoteles. Dan Aristoteles, kita tahu, adalah guru dari Iskandar Zulqarnain. Yang terakhir ini, seorang suci yang bisa kita baca kisahnya di Al-Quran.

So what do you think? Siapa sebenarnya Socrates? Lamat-lamat kita ingat, “Dan sungguh Kami telah mengutus utusan pada tiap-tiap umat…” (QS 16:36). Ada sekian banyak utusan, kisah 25 di antaranya direkam di dalam Al-Quran. Selebihnya? Barangkali tak kita kenal sama sekali. Atau bahkan tersembunyi di antara tumpukan buku… entah yang pada jaman kini dikenal sebagai jenderal perang, matematikawan, sastrawan… atau filsuf?

Hanya Allah yang tahu. Salaam.

Sumber: http://watung.org/2007/08/23/siapa-socrates-sebenarnya/



Jumat, 05 Oktober 2007

Bunuh Diri Ala Socrates


Aku temukan artikel ini dari website Eyewitness to History (www.eyewitnesstohistory.com). Menarik juga, untuk memperdalam pengetahuan mengenai Socrates


Suicide of Socrates, 399 BC

On a day in 399 BC the philosopher Socrates stood before a jury of 500 of his fellow Athenians accused of "refusing to recognize the gods recognized by the state" and "of corrupting the youth." If found guilty; his penalty could be death. The trial took place in the heart of the city, the jurors seated on wooden benches surrounded by a crowd of spectators. Socrates' accusers (three Athenian citizens) were allotted three hours to present their case, after which, the philosopher would have three hours to defend himself.

Socrates was 70 years old and familiar to most Athenians. His anti-democratic views had turned many in the city against him. Two of his students, Alcibiades and Critias, had twice briefly overthrown the democratic government of the city, instituting a reign of terror in which thousands of citizens were deprived of their property and either banished from the city or executed.

After hearing the arguments of both Socrates and his accusers, the jury was asked to vote on his guilt. Under Athenian law the jurors did not deliberate the point. Instead, each juror registered his judgment by placing a small disk into an urn marked either "guilty" or "not guilty." Socrates was found guilty by a vote of 280 to 220.

The jurors were next asked to determine Socrates' penalty. His accusers argued for the death penalty. Socrates was given the opportunity to suggest his own punishment and could probably have avoided death by recommending exile. Instead, the philosopher initially offered the sarcastic recommendation that he be rewarded for his actions. When pressed for a realistic punishment, he proposed that he be fined a modest sum of money. Faced with the two choices, the jury selected death for Socrates.

The philosopher was taken to the near-by jail where his sentence would be carried out. Athenian law prescribed death by drinking a cup of poison hemlock. Socrates would be his own executioner.

"What must I do?"

Plato was Socrates' most famous student. Although he was not present at his mentor's death, he did know those who were there. Plato describes the scene through the narrative voice of the fictional character Phaedo.

"When Crito heard, he signaled to the slave who was standing by. The boy went out, and returned after a few moments with the man who was to administer the poison which he brought ready mixed in a cup. When Socrates saw him, he said, 'Now, good sir, you understand these things. What must I do?'

'Just drink it and walk around until your legs begin to feel heavy, then lie down. It will soon act.' With that he offered Socrates the cup.

The latter took it quite cheerfully without a tremor, with no change of color or expression. He just gave the man his stolid look, and asked, 'How say you, is it permissible to pledge this drink to anyone? May I?'

The answer came, 'We allow reasonable time in which to drink it.'

'I understand', he said, 'we can and must pray to the gods that our sojourn on earth will continue happy beyond the grave. This is my prayer, and may it come to pass.' With these words, he stoically drank the potion, quite readily and cheerfully. Up till this moment most of us were able with some decency to hold back our tears, but when we saw him drinking the poison to the last drop, we could restrain ourselves no longer. In spite of myself, the tears came in floods, so that I covered my face and wept - not for him, but at my own misfortune at losing such a man as my friend. Crito, even before me, rose and went out when he could check his tears no longer.

Apollodorus was already steadily weeping, and by drying his eyes, crying again and sobbing, he affected everyone present except for Socrates himself.

He said, 'You are strange fellows; what is wrong with you? I sent the women away for this very purpose, to stop their creating such a scene. I have heard that one should die in silence. So please be quiet and keep control of yourselves.' These words made us ashamed, and we stopped crying.

Socrates walked around until he said that his legs were becoming heavy, when he lay on his back, as the attendant instructed. This fellow felt him, and then a moment later examined his feet and legs again. Squeezing a foot hard, he asked him if he felt anything. Socrates said that he did not. He did the same to his calves and, going higher, showed us that he was becoming cold and stiff. Then he felt him a last time and said that when the poison reached the heart he would be gone.

As the chill sensation got to his waist, Socrates uncovered his head (he had put something over it) and said his last words: 'Crito, we owe a cock to Asclepius. Do pay it. Don't forget.'

'Of course', said Crito. 'Do you want to say anything else?'

'There was no reply to this question, but after a while he gave a slight stir, and the attendant uncovered him and examined his eyes. Then Crito saw that he was dead, he closed his mouth and eyelids.

This was the end of our friend, the best, wisest and most upright man of any that I have ever known"

References:
Plato's description appears in: Tredennick, Hugh (translator)The last days of Socrates : Euthyphro, The apology, Crito, Phaedo / Plato (1959); Freeman, Charles, The Greek Achievement (1999); Stone, I.F., The Trial of Socrates (1988).

How To Cite This Article:
"The Suicide of Socrates, 399 BC," EyeWitness to History, www.eyewitnesstohistory.com (2003).

Jumat, 11 Mei 2007

Biografi Socrates

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.