Kamis, 30 Oktober 2008

Semar dan Socrates

Refleksi tentang Socrates di bawah ini saya dapatkan dari http://artculture-indonesia.blogspot.com. Menarik juga.

Semar dan Socrates

Sejak kecil saya gemar nonton wayang kulit. Kisah-kisahnya sangat mengesankan dan heroik. Dan di dalamnya juga terdapat banyak pelajaran spiritual yang bisa kita petik. Wayang kulit adalah bahasa pralambang, tamsil atau isyarat. Watak pemberani dan lugu misalnya, dipersonafikasikan sebagai tokoh Bima Sena, atau Arya Werkudara, kstaria gagah perkasa berpostur tinggi besar seperti raksasa, dan tidak suka menggunakan bahasa Jawa krama yang halus. Dia lebih suka ngoko, atau menggunakan bahasa Jawa kasar. Bagi dia, kejujuran lebih penting daripada sekedar halus atau berbasa-basi. Sedangkan yang kita jumpai dalam budaya kita justru kebalikannya: lebih penting halus daripada jujur.

Kebalikannya adalah Buta Cakil: ini lambang kemunafikan. Buta Cakil adalah satu-satunya buta, atau raksasa dalam pewayangan, yang memiliki postur tubuh seperti manusia atau ksatria. Kulitnya halus mulus seperti kulit manusia, bahkan pakaiannya batik seperti pakaian seorang priyayi, senjatanya pun keris, ini juga senjata para ksatria... hanya saja ia bermuka raksasa. Ia melambangkan makhluk-makhluk munafik: yang berpenampilan manusia, tapi sejatinya adalah raksasa buas pemangsa manusia. Dan akhir lakon Buta Cakil selalu sama: dia mati berdiri tertusuk kerisnya sendiri.

Wayang kulit juga merupakan catatan perjalanan spiritualitas orang Jawa sendiri. Sebelum masuknya agama Hindu-Budha ke tanah Jawa, orang Jawa sudah menyembah Tuhannya sendiri yaitu Sang Hyang Taya: Dia Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Sedangkan wayang kulit bukan produk Jawa 100%. Ceritanya diimpor dari India: Mahabharata dan Ramayana. Maka dewa-dewa Hindu pun menghiasi pakeliran wayang kulit: Bathara Brahma, Wisnu dan Bathara Guru. Dan pada zaman Islam, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga wayang kulit pun di-Islamkan. Dewa-dewa Hindu dianggap sebagai anak-anak keturunan Nabi Adam. Dan senjata ampuh milik Prabu Yudhistira kalimasada, yang aslinya adalah kalimahosadha, diartikan sebagai Kalimat Sahadat.

Yang menarik dalam zaman Islam ini adalah tokoh Yamadipati: dewa pencabut nyawa yang berpenampilan seperti ulama, dengan jubah panjang, sorban, dan janggut panjang. Menurut Agus Sunyoto, dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS 2003), tokoh Yamadipati ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga untuk menggambarkan para ulama gadungan yang bersedia diperbudak oleh Sultan Trenggana untuk menebarkan kematian dimana-mana demi membasmi lawan-lawan politiknya.

Perjumpaan Demak Islam dengan Portugis yang beragama Kristen juga meninggalkan catatan dalam dunia pewayangan, yaitu seorang tokoh bernama: Dewa Srani (dari kata serani atau Nasrani). Dewa Srani digambarkan sebagai seorang dewa di kahyangan, dengan muka berwarna putih, anak Bathari Durga yang berkeinginan merebut kerajaan Prabu Yudhistira. Kehadiran Dewa Srani ini bukan saja menggambarkan kehidupan politik di Nusa Jawa pada masa itu, tapi bahkan merambah ke isu theologis: yaitu polemik khas Islam-Kristen tentang ajaran Tauhid (keesaan Tuhan): dalam sebuah lakon carangan misalnya, diceritakan bahwa Dewa Srani berusaha merebut senjata Prabu Yudhistira yang sangat ampuh yaitu kalimasada atau Kalimat Sahadat.

Namun tokoh yang paling sakral dalam dunia pewayangan adalah Semar: dewa asli Jawa. Ia digambarkan sebagai seorang manusia biasa, bahkan seorang rakyat jelata, abdi yang setia... namun ia tidak mau tunduk-sujud menyembah kepada siapapun, tidak kepada raja-raja kaya, tidak pula kepada dewa-dewa di kahyangan. Misinya murni untuk menjaga harmoni semesta raya. Dan demi mengemban tugasnya itu ia kalau perlu mendamprat dewa-dewa di kahyangan dan mempermalukan mereka. Semar tak pernah takut pada para dewa. Ia berperan di Nusa Jawa seperti halnya Socrates di Yunani. Dialah yang menyerukan pada penduduk di Nusa Jawa agar tidak sujud menyembah kepada apapun atau siapapun kecuali Sang Hyang Taya: Ia Yang Tak Dapat Dibandingkan Dengan Segala Sesuatu. Bahkan Agus Sunyoto dalam novelnya Syaikh Siti Jenar (LKiS, 2003), menyebut Semar (Dyah Hyang Semar) sebagai nabinya orang Jawa pada jaman purbakala yang menyampaikan ajaran keesaan Tuhan.

Salam.

Jumat, 24 Oktober 2008

Sukses Ala Socrates

Tulisan ini saya temukan dari website nya Andre Wongso, tapi ditulis oleh Andrew Ho.


Sukses Ala Socrates


Socrates(469-399 BC) adalah seorang filosof Yunani. Ia dikenal luas memiliki kearifan dan kecerdasan luar biasa. Tak mengherankan jika banyak sekali pemuda pada masa itu ingin menimba ilmu darinya, entah tentang bisnis, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Salah seorang pemuda diantaranya dijanjikan bertemu pada pagi hari di pantai. Sebelumnya pemuda tersebut sudah mengutarakan kepada Socrates tentang keinginannya untuk belajar tentang bagaimana meraih kesuksesan. Merekapun bertemu di tempat yang sudah mereka sepakati.

Socrates langsung memerintah pemuda itu masuk ke laut sampai air laut menenggelamkan tubuh mereka sebatas leher. Tanpa memberi komando, tiba-tiba Socrates menenggelamkan kepala pemuda tersebut. Dengan sekuat tenaga pemuda itu berjuang agar kembali ke permukaan.

Setelah melihat pemuda itu hampir pingsan, Socrates baru mengangkatkan kepala pemuda itu. Begitu muncul di permukaan air, pemuda itu langsung menarik nafas kuat-kuat untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Socrates lalu bertanya kepada pemuda itu, "Sewaktu di dalam air, apa yang paling kamu butuhkan?"

"Udara," jawab pemuda itu singkat sambil terengah-engah.

"Itulah rahasia kesuksesan. Jika kamu ingin sukses, harus berjuang seperti kamu membutuhkan udara di dalam air. Kamu pasti sukses!" kata Socrates penuh makna sembari meninggalkan pemuda itu.


Pesan:

Sebetulnya diantara faktor-faktor terpenting untuk meraik kesuksesan adalah kemauan keras untuk berbuat sesuatu. Siapapun orangnya berpeluang menjadi orang sukses. Meskipun latar belakang pendidikan atau masa lalu seseorang tentu saja memberikan sentuhan-sentuhan peluang menjadi lebih besar.

Dengan kemauan yang keras, setiap orang dapat sukses di manapun dan di bidang apapun. Banyak sekali peristiwa besar dunia di sepanjang lintasan sejarah, dan itu hanya mungkin lahir dari kemauan yang besar. "Manusia tidak pernah kekurangan kekuatan, tetapi kurang kemauan," Victor Hugo. Salah satu contohnya adalah Tirto Utomo yang dulu ditertawakan karena menjual air mineral dalam kemasan. Berkat kemauan keras dan perjuangannya, kini usahanya menggurita seiring dengan semakin populernya air mineral dalam kemasan.

Sukses sangat ditentukan oleh kuatnya kemauan dari dalam diri sendiri untuk belajar dan bekerja keras, dan meningkatkan kualitas diri. Tantangan atau kendala apapun berusaha diatasi dengan memberikan yang terbaik dan menjalani dengan sungguh-sungguh. "Kekuatan seseorang bukan datang dari kapasitas fisiknya, tetapi dari kemauan yang sungguh-sungguh," tegas Mahatma Gandhi.


*Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best

seller.Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com

Sabtu, 02 Agustus 2008

Pelajaran dari Socrates

Tulisan oleh Anonim ini saya temukan dimuat kembali oleh sebuah http://janik.niriah.com. Menarik juga.

Pelajaran dari Socrates

Bagi para pendukung kesebelasan Yunani tidak usah bersedih. Kesebelasan yang dua tahun lalu menjadi juara piala Eropa, kini di Euro 2008 kesebelasan ini kandas dari Swedia (2-0) dan Rusia (1-0). Walau kesebelasan Yunan kalah tampaknya kita masih bisa belajar dari bangsa Yunani. Di zaman Yunani kuno, Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanannya yang tinggi.

Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, “Tahukah anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman anda?”"Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Kali.” “Saringan tiga kali?” tanya pria tersebut. “Betul,” lanjut Socrates.

“Sebelum anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Kali.

Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah anda bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah benar?” “Tidak,” kata pria tersebut,”sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada anda”. “Baiklah,” kata Socrates. ” Jadi anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak.”

Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu :KEBAIKAN. Apakah yang akan anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?” “Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk”. “Jadi,” lanjut Socrates, “anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi anda tidak yakin kalau itu benar.

Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya,yaitu: KEGUNAAN. Apakah apa yang anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?” “Tidak, sungguh tidak,” jawab pria tersebut. “Kalau begitu,” simpul Socrates,” jika apa yang anda ingin beritahukan kepada saya… tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa ingin menceritakan kepada saya ?”

Sebuah panah yang telah melesat dari busurnya dan membunuh jiwa yang tak bersalah, dan kata-kata yang telah diucapkan yang menyakiti hati seseorang, keduanya tidak pernah bisa ditarik kembali. Jadi sebelum berbicara, gunakanlah Saringan Tiga Kali.

(Terima kasih bagi yang pernah mengirim tulisan ini, Yang Maha Melihat pasti mencatat kebaikan Anda)
SUmber: http://jamil.niriah.com/2008/06/16/pelajaran-dari-socrates-saringan-tiga-kali/

Jumat, 01 Februari 2008

Socrates menurut Catholic Encyclopedia

Sewaktu browsing tentang Socrates, saya temukan ini, yang disebut sebagai Catholic Encyclopedia:Socrates. Sumbernya sendiri dari www.newadvent.org

Socrates: Greek philosopher and educational reformer of the fifth century B.C.; born at Athens, 469 B.C.; died there, 399 B.C. After having received the usual Athenian education in music (which included literature), geometry, and gymnastics, he practised for a time the craft of sculptor, working, we are told, in his father's workshop. Admonished, as he tells us, by a divine call, he gave up his occupation in order to devote himself to the moral and intellectual reform of his fellow citizens. He believed himself destined to become "a sort of gadfly" to the Athenian State. He devoted himself to this mission with extraordinary zeal and singleness of purpose. He never left the City of AthensSophists and their influential friends. He was the most unconventional of teachers and the least tactful. He delighted in assuming all sorts of rough and even vulgar mannerisms, and purposely shocked the more refined sensibilities of his fellow citizens. The opposition to him culminated in formal accusations of impiety and subversion of the existingmoral traditions. He met these accusations in a spirit of defiance and, instead of defending himself, provoked his opponents by a speech in presence of his judges in which he affirmed his innocence of all wrongdoing, and refused to retract or apologize for anything that he had said or done. He was condemned to drink the hemlock and, when thetime came, met his fate with a calmness and dignity which have earned for him a high place among those who suffered unjustly for conscience sake. He was a man of great moral earnestness, and exemplified in his own life some of the noblest moral virtues. At the same time he did not rise above the moral level of his contemporaries in every respect, and Christian apologists have no difficulty in refuting the contention that he was the equal of the Christian saints. His frequent references to a "divine voice" that inspired him at critical moments in his career are, perhaps, best explained by saying that they are simply his peculiar way of speaking about the promptings of his own conscience. They do not necessarily imply a pathological condition of his mind, nor a superstitiousbelief in the existence of a "familiar demon". except on two occasions, one of which was the campaign of Potidea and Delium, and the other a public religious festival. In his work as reformer he encountered, indeed he may be said to have provoked, the opposition of the

Socrates was, above all things, a reformer. He was alarmed at the condition of affairs in Athens, a condition which he was, perhaps, right in ascribing to the Sophists. They taught that there is no objective standard of the true and false, that that is true which seems to be true, and that that is false which seems to be false. Socrates considered that this theoretical scepticism led inevitably to moral anarchy. If that is true which seems to be true, then that is good, he said, which seems to be good. Up to this time morality was taught not by principles scientifically determined, but by instances, proverbs, and apothegms. He undertook, therefore, first to determine the conditions of universally valid knowledge, and, secondly, to found on universally valid moralscience of human conduct. Self-knowledge is the starting point, because, he believed, the greatest source of the prevalent confusion was the failure to realize how little we know about anything, in the true sense of the word know. The statesman, the orator, the poet, think they know much about courage; for they talk about it as being noble, and praiseworthy, and beautiful, etc. But they are really ignorant of it until they know what it is, in other words, until they knowdefinition. The definite meaning, therefore, to be attached to the maxim "know thyself" is "Realize the extent of thine own ignorance". principles a its

Consequently, the Socratic method of teaching included two stages, the negative and the positive. In the negative stage, Socrates, approaching his intended pupil in an attitude ofassumedignorance, would begin to ask a question, apparently for his own information. He would follow this by other questions, until his interlocutor would at last be obliged to confess ignorance of the subject discussed. Because of the pretended deference which Socrates payed to the superior intelligence of his pupil, this stage of the method was called "Socratic Irony". In the positive stage of the method, once the pupil had acknowledged his ignorance, Socrates would proceed to another series of questions, each of which would bring out some phase or aspect of the subject, so that when. at the end, the answers were all summed up in a general statement, that statement expressed the concept of the subject, or thedefinition. Knowledge through concepts, or knowledge by definition, is the aim, therefore, of the Socratic method. The entire process was called "Hueristic", because it was a method of finding, and opposed to "Eristic", which is the method of strife, or contention.Knowledge through concepts is certain, Socrates taught, and offers a firm foundation for the structure not only of theoretical knowledge, but also of moralscience of human conduct, Socrates went so far as to maintain that all rightknowledge, that not only does a definition of a virtue aid us in acquiring that virtue, but that the definition of the virtue is the virtue. A man who can define justice is just, and, in general, theoretical insight into the principles of conduct is identical with moral excellence in conduct; knowledge is virtue. Contrariwise, ignorance is vice, and no one can knowingly do wrong. These principles are, of couse only partly true. Their formulation, however, at this time was of tremendous importance, because it marks the beginning of an attempt to build up on general principles a science of human conduct. principles, and the conduct depends on clear

Socrates devoted little attention to questions of physics and cosmogony. Indeed, he did not conceal his contempt for these questions when comparing them with questions affecting man, his nature and his destiny. He was, however, interested in the question of the existence of God and formulated an argument from design which was afterwards known as the "Teleological Argument" for the existence of God. "Whatever exists for a useful purpose must be the work of an intelligence" is the major premise of Socrates' argument, and may be said to be the major premise, explicit or implicit, of every teleological argument formulated since his time. Socrates was profoundly convinced of the immortality of the soul, although in his address to his judges he argues against fear of death in such a way as apparently to offer two alternatives: "Either death ends all things, or it is the beginning of a happy life." His real conviction was that the soulauthorities, Plato and Xenophon. In the absence of primary sources -- Socrates, apparently, never wrote anything -- we are obliged to rely on these writers and on a few references of Aristotle for our knowledge of what Socrates taught. Plato's portrayal of Socrates is idealistic; when, however, we correct it by reference to Xenophon's more practical view of Socrates' teaching, the result cannot be far from historictruth. survives the body, unless, indeed, we are misled by our

About this page

APA citation. Turner, W. (1912). Socrates. In The Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Retrieved January 19, 2003 from New Advent: http://www.newadvent.org/cathen/14119a.htm

MLA citation. Turner, William. "Socrates." The Catholic Encyclopedia. Vol. 14. New York: Robert Appleton Company, 1912. 19 Jan. 2003 .

Transcription. This article was transcribed for New Advent by Michael Murphy and Patrick Swain.

Ecclesiastical approbation. Nihil Obstat. July 1, 1912. Remy Lafort, S.T.D., Censor. Imprimatur. +John Cardinal Farley, Archbishop of New York.

Contact information. The editor of New Advent is Kevin Knight. My email address is feedback732 at newadvent.org. (To help fight spam, this address might change occasionally.) Regrettably, I can't reply to every letter, but I greatly appreciate your feedback — especially notifications about typographical errors and inappropriate ads.